Minggu, 04 April 2010
Laporan Hasil Observasi "Multiple Intelligence"
Rabu, 03 Maret 2010
Tugas III kelompok V "PARADIGMA PEMBELAJARAN"
1. Pembelajaran Konstriktivistik
2. Quantum Teaching dalam Pembelajaran
3. Kecerdasan Emosional dalam Pembelajaran
4. Multiple Intelligences
5. Quantum Learning dalam Pembelajaran
6. Contectual Teaching and Learning
PEMBAHASAN STUDI KASUS
1. Contextual Teaching and Learning (CTL)
Studi kasus tentang penerapan model pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) pada mata pelajaran seni budaya sub bidang studi seni tari untuk siswa kelas VIII di smp negeri 20 malang tahun pelajaran 2008/2009
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sistem pembelajaran yang cocok dengan kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, dengan cara menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini penting diterapkan agar informasi yang diterima tidak hanya disimpan dalam memori jangka pendek, yang mudah dilupakan, tetapi dapat disimpan dalam memori jangka panjang. Pendekatan kontekstual ( contextual teaching and learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong anatara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga masyarakat sehingga akan dihayati dan diterapkan dalam tugas pekerjaan.
Pada mata pelajaran seni budaya sub bidang studi seni tari, model pembelajaran kontekstual diharapkan mampu membuat siswa medorong pengetahuan yang dimilikinya dan menerapkannya dalam kehidupan, Model pembelajaran CTL ini juga
dapat membantu siswa memahami dan menguasai pemahamannya dalam
penerapannya pada pelaksanaan pembelajaran seni tari. Sehingga dengan adanya
penerapan model pembelajaran CTL siswa tidak hanya mampu menghafal tentang
konsep atau pengetahuan pembelajaran seni tari, tetapi siswa dapat mengalami
sendiri pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari pembelajaran seni tari di
dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar yaitu sebagai berikut:
a. Proses belajar
b. Transfer belajar
c. Siswa sebagai pembelajaran
d. Pentingnya lingkungan belajar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran seni tari
yang dibuat oleh guru seni budaya salah satunya adalah rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP), sudah sesuai dengan beberapa komponen utama pada CTL
diantaranya: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning),
menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan
(modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assesment).
Hal tersebut terlihat pada komponen rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
yang terdapat pada metode dan strategi pembelajaran. Selain itu, guru seni budaya
juga melakukan penilaian sebenarnya (authentic assesment) pada setiap materi
yang diajarkan. Penilaian sebenarnya (authentic assesment) merupakan penilaian
yang diperoleh baik dari segi proses maupun hasil akhir dalam pelaksanaan
pembelajaran seni tari.
2. Quantum learning
Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme). Quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria. Ia melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology (suggestopedia). Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil apa pun memberikan sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti positif, beberapa teknik digunakan. Para murid di dalam kelas dibuat menjadi nyaman. Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar, yang menonjolkan informasi, ditempel. Serta dibuat juga portofolio untuk memudahkan para siswa. Guru-guru yang terampil dalam seni pengajaran sugestif bermunculan.
Menurut studi kasus yang didapat berkaitan dengan quantum learning tersebut, dikatakan bahwa asesmen yang sedang berkembang saat ini adalah penilaian portofolio yang disinyalir memiliki banyak manfaat baik bagi guru maupun bagi siswa.
Model Pembelajaran Berbasis Portofolio merupakan alternatif Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan Cara Mengajar Guru Aktif (CMGA). Karena sebelum, selama dan sesudah proses belajar mengajar guru dan siswa dihadapkan pada sejumlah kegiatan. Diharapkan siswa akan mendapat banyak manfaat baik hasil belajar utama maupun hasil pengiring akademik dan sosial dan memudahkan siswa dalam menyerap pendidikan dalam proses pembelajaran seperti ini.
Melalui model pembelajaran berbasis portofolio siswa diberdayakan agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya (learning to do) dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungannya baik lingkungan fisik, sosial, mapun budaya, sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuannya terhadap dunia di sekitarnya (learning to know). Diharapkan hasil interaksi dengan lingkungannya itu dapat membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya (learning to be). Kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok yang bervariasi (learning to live together) akan membentuk kepribadiannya untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup. Model pembelajaran berbasis portofolio merupakan satu bentuk perubahan konsep berpikir tersebut, yaitu suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu siswa dalam memahami teori secara mendalam melalui pengalaman belajar praktik empirik. Praktik belajar ini dapat menjadi program pendidikan yang mendorong kompetensi, tanggung jawab dan partisipasi siswa, belajar menilai dan mempengaruhi kebijakan umum, memberanikan diri untuk berperan serta dalam kegiatan antar siswa, antar sekolah dan antar anggota masyarakat
Pembelajaran saat ini perlu lebih menekankan how (bagaimana membelajarkan) daripada what (apa yang dibelajarkan). Guru tidak lagi hanya bertugas memberikan informasi kepada siswa. Tugas guru saat ini diharapkan dapat memotivasi siswa untuk mencari informasi baru diluar kelas di sekolah. Belajar tidak hanya disekolah, belajar juga dapat dilakukan diluar sekolah.
Guru tidak harus menyampaikan pelajaran sesuai dengan kurikulum, tetapi dituntut dapat mengembangkan potensi siswanya. Artinya, pembelajaran tidak lagi terikat dan dibatasi dinding-dinding kelas. Guru dituntut mengembangkan metode secara kreatif dan inovatif. Guru bukan lagi sebagai pusat pembelajaran, melainkan sebagai fasilitator. Sumber pembelajaran bisa berupa buku, lingkungan, dan masyarakat, termasuk internet.
Dengan demikian, siswa akan menyukai materi yang diberikan, bahkan akan terus menuntut untuk maju serta menemukan hal-hal baru pada bidang yang diminati untuk membangun kompetensi diri.
3. Quantum Teaching
Pada studi kasus Pengaruh Model Quantum Teaching dan Model Ekspositori Terhadap Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial Ditinjau Dari Kreativitas Siswa (Studi Eksperimen Kelas VIII Di SMP Negeri Kecamatan Mojogedang Tahun 2009 / 2010). diberikan Quantum Teaching berfokus pada hubungan dinamis dalm lingkungan kelas. Didalam studi kasus ini murid. Dilihat bagaimana Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara Kreativitas Siswa Tinggi dan Kreativitas Siswa Rendah terhadap hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial dan terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara Model Pembelajaran dan Kreativitas siwa terhadap hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial dengan diberikannya model pembelajaran quatum teaching. Quantum teaching adalah pengubahan belajar yang meriah dengan segalaa nuansanya. Dalam Quantum Teaching juga menyertakan segala kaitan interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Interaksi yang menjadikan landasan dan kerangka untuk belajar. Dari uraian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa QuntumTeaching adalah orkrestasi bermacam-macam interaksi yang ada mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Interaksi-interaksi ini mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan orang lain. Berdasarkan asas utama quantum teaching konsep itu adalah
“Bawalah dunia mereka kedunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”. Maksud asas utama ini memberi pengertian bahwa langkah awal yang harus dilakukan dalam pengajaran yaitu mencoba memasuki dunia yang dialami oleh peserta didik.
Cara yang dilakukan seorang pendidik untuk apa yang diajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, sosial, musik, seni, rekreasi atau akademis mereka. Setelah kaitan itu terbentuk, maka dapat membawa mereka kedalam dunia kita dan memberi mereka pemahaman mengenai isi dunia itu. “dunia kita” dipeluas mencakup tidak hanya para siswa, tetapijuga guru. Akhirnya dengan pengertian yang lebih luas dan penguasaan lebih mendalam ini, siswa dapat membawa apa yang mereka pelajari kedalam dunia mereka dan menerapkannya pada situasi baru.
3. Prinsip-Prinsip Quantum Teaching
Prinsip-prinsip Quantum Teaching adalah struktur chort dasar dari simfoni. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Segalanya Berbicara
Segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa, tubuh, dari kelas yang bagaikan hingga rancangan pembelajaran, semuanya mengirim pesan tentang belajar.
b. Segalanya Bertujuan
Segalanya bertujuan dapat, digambarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam proses belajar mengajar memiliki tujuan tertentu. Suatu tujuan yang diharapkan tidak harus diuraikan dengan kata-kata dapat pula diwujudkan dan mencakup keseluruhan peristiwa yang terjadi dalam proses belajar mengajar itu sendiri.
c. Pengalaman Sebelum Pemberian Nama
Otak manusia berkembang pesat dengan adanya rasa ingin tahu oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untukyang mereka pelajari.
d. Akui Setiap Usaha
Belajar pada hakikatnya mengandung konsekuensi ketika peserta didik mulai melangkah untuk belajar yang bagaimanapun untuk setiap usaha dan pekerjaan untuk belajar yang dilakukan selalu dianggap perlu dan akan berpengaruh terhadap hasil pekerjaan yang lebih baik. Fungsi dari pengakuan akan berperan menciptakan perasaan nyaman dan poercaya diri. Disamping itu juga dapat menciptakan lingkungan paling baik untuk membantu mengubah diri menuju arah yang diinginkan.
e. Jika Layak Dipelajari, Maka Layak Pula Dirayakan
Perayaan merupakan ungkapan kegembiraan atas keberhasilan yang diperoleh. Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuaan dan meningkatklan asosiasi emosi positif dengan belajar.
4. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional merupakan kemampuan individu dalam menggunakan atau mengelola emosinya secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan yang produktif dengan orang lain dan meraih keberhasilan.
Berdasarkan pada studi pendahuluan dan data dari beberapa referensi di atas, peneliti memfokuskan penelitian pada tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap pengembangan kecerdasan emosional siswa di SD Islam Roushon Fikr Jombang, yang meliputi: 1). Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap kemampuan siswa mengenal emosi diri, 2). Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap kemampuan siswa mengelola emosi diri, 3). Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap kemampuan siswa memotivasi diri sendiri, 4). Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap kemampuan siswa mengenal emosi orang lain, dan 5). Tindakan guru dalam pembelajaran yang berkontribusi terhadap kemampuan siswa menjalin hubungan dengan orang lain. Sedangkan dalam perkembangan setelah mengumpulkan data, menganalisis, dan mengidentifikasi, muncul fokus kedua sebagai temuan penelitian tambahan, yaitu peristiwa spontan dalam pembelajaran yang langsung direspon oleh guru, dan peristiwa dalam pembelajaran yang berpeluang untuk mengembangkan kecerdasan emosional siswa, tetapi diabaikan atau tidak direspon langsung oleh guru.
Dasar-dasar kecerdasan sosial:
a. Mengorganisasi kelompok
b. Merundingkan pemecahan
c. Hubungan pribadi
d. Analisis sosial
5. Pembelajaran Konstruktivistik
Pada studi kasus kasus “Studi Perbandingan Antara Teori Konstruktivisme dan Konsep E-Learning dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia”. Ditemukan relevansi dengan materi mengenai pembelajaran konstrutivisme dari buku Paradigma Baru Pembelajaran. Pada studi kasus ini dosen memberikan sejumlah materi yang kemudian diinterpretasikan oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuannya masing masing, hal ini sesuai dengan tujuan konstruktivis dari buku Paradigma Baru Pembelajaran yaitu konstruktivis ini ditentukan bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif produkif dalam konteks nyata yang mendorong si belajar untuk berpikir dan berpikir ulang lalu mendemonstrasikan. Sumber : http://repository.gunadarma.ac.id:8000/browse.php?nfile=1565
6. Pembelajaran Multiple Intelligences
Selama ini kecerdasan diukur dengan tes IQ yang berfokus pada kecerdasan linguistik dan matematika/logika, dan keberhasila di sekolah menunjukan kecerdasan. Namun pada dasarnya bukan hanya itu cara mengetahuinya. Howard Gardner mendefinisikan kecerdasan sbb
1. Kemampuan menyelesaikan masalah atau produk mode yang menerapkan konsekuensi dalam suasana budaya
2. Keteramplan memecahkan masalah membuat seseorang mendekati situasi yang sasaran harus dicapai.
3. Kemampuan untuk menemukan arah / cara yang tepat ke arah sasaran tersebut.
Gardner memetakan lingkup kemampuan manusia yang luas menjadi delapan kategori yang komprehensif atau delapan kecerdasan dasar, yaitu:
1. Kecerdasan linguistik
2. Kecerdasan matematis-logis
3. Kecerdasan spasial
4. Kecerdasan kinetis-jasmani
5. Kecerdasan musikal
6. Kecerdasan interpersonal
7. Kecerdasan intrapersonal
8. Kecerdasan naturalis
9. Kecerdasan eksistensial
Pada studi kasus di http://indonesia-educenter.net/index.php?option=com_content&task=view&id=299&Itemid=61, dilakukan sebuah penelitian terhadap tiga kelas 4 SD yang mengadopsi metode pembelajaran yang berbeda.
Kelas yang pertama, yaitu kelas 4A menerakan Multiple Intelligences (guru mengajar dengan teknik bervariasi sehingga ragam kecerdasan menurut Howard Gardner dapat terlayani di dalam proses ini) NAMUN alur prosesnya masih mengikuti pola mengajar konvensional, yaitu Guru yang memegang kendali atas pilihan teknik serta alokasi waktunya.
Kelas yang kedua, yaitu kelas 4B menerapkan model pembelajaran Konvensional
Kelas yang ketiga, yaitu kelas 4C menerapkan Multiple Intelligences dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk MEMILIH sendiri teknik belajar (atau paling tidak, disediakan beberapa alternatif pilihan) yang paling disukainya. Hal ini diwujudkan dengan memberi kebebasan pada siswa untuk menentukan sendiri tugas-tugas yang ingin diselesaikannya terlebih dahulu sebelum dia berpindah kepada tugas yang lainnya. Juga memberi pilihan kepada siswa untuk mau bekerja sendiri atau bersama dalam kelompok. Kelas 4C ini kami sebut sebagai Kelas Kecerdasan Majemuk Sudut Kecerdasan.
Setelah melewati berbagai tes, didapatkan bahwa kelas 4B lebih unggul daripada kelas 4C bila dlihat dari hasil akhir. Namun pada dasarnya kleas 4C juga banyak mengalami kemajuan. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di http://indonesia-educenter.net/index.php?option=com_content&task=view&id=207&Itemid=61 dan perbandingan antara kelas 4A dan 4C dapat dilihat http://indonesia-educenter.net/index.php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid=61 dimana evaluasi di kelas 4C lebih baik
Pada dasarnya studi kasus ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran multiple inteligence ini berperan dalam pendidikan anak, seperti yang dijelaskan di buku,
DAFTAR PUSTAKA:
http://repository.gunadarma.ac.id:8000/browse.php?nfile=1565
http://pasca.uns.ac.id/?p=306
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/983
http://indonesia-educenter.net/index.php?option=com_content&task=view&id=299&Itemid=61
http://bankskripsi.com/model-pembelajaran-berbasis-portofolio-studi-kasus-di-sd-negeri-barusari-03-semarang.pdf.doc.htm
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/seni-desain/article/view/1548
Prof. Dr. H. Yatim Riyanto, M.Pd. Paradigma Baru Pembelajaran. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. JAKARTA. 2009
KELOMPOK V :
1. DENISE LAZZARONI O81301036
2. HUSNA A. ARITONANG 081301046
3. GRACIAS ANASTASIA 081301082
4. MAYRINDA FAMELLA 081301102
5. SURI ICHWANI 081301103
6. DITA ARDHINA 081301110
Sabtu, 27 Februari 2010
tugas II individu paedagogi
4 prinsip pembaruan pendidikan menurut Nisbeth :
- The Incres In Workland. Pembaruan pendidikan harusnya telah memikirkan terlebih dahulu permasalahan yang akan muncul pada saat pembaruan sisitem pendidikan. Sehingga permasalahan yang mungkin timbul dapat teratasi dengan baik. Contoh : pada saat perubahan pembaruan suatu sistem pendidikan dari CBSA menjadi berbasis kompetensi harusnya lembaga pendidikan telah memikirkan jawaban atas permasalahan yang mungkin muncul pada saat melakukan perubahan sistem pendidikan tersebut.
- Loss Of Confidence. pembaruan sistem pendidikan harusnya telah mempersiapkan keahlian para pengajar dan pendidik agara dapat mengembangkan keahlian dan kemampuannya sehingga tidak hanya berdiam diri yang mungkin akan membuat pendidik merasa kehilangan kepercayaan diri. Contoh : pembaruan sistem pendidikan dari sistem CBSA menjadi berbasis kompetensi harusnya telah mempersiapkan para pendidik dan pengaja yang memiliki kemampuan dan keahlian sehingga pada saat perubahan pembaruan sistem pendidikan para pengajar telah memiliki kemampuan dan keahlian yang cukup untuk mengajarkannya kepada para siswa.
- The Period Of Confussion.Masa ini merupakan masa kacau, dimana pada saat proses pembaruan dimulai akan ada masa yang belum terarah dan belum jelas, sehingga harus bisa diatasi. Akan tetapi kekacauan yang terjadi masih didalam batas wajar sehingga masih dapat diatasi. Contoh : pembaruan sistem pendidikan dari CBSA menjadi berbasis kompetensi tentunya membawa suatu perubahan dalam sistem pendidikan sehingga pada saat awal dimulianya pembaruan sistem pendidikan ada masalah yang timbul seperti misalnya pada saat sistem pendidikan CBSA siswa hanya mendengar dan memperhatikan guru berbicara, akan tetapi sistem pendidikan berbasis kompetensi lebih mengaharapkan siswa yang aktif sehingga proses belajar belajar lebih terarah. namun terkadang baik pengajar maupun siswa masih bingung dan belum terarah pada sistem pendidikan yang baru. Sehingga ada masa kacau,namun masih dapat teratasi dengan baik.
- The Blacklash. Apabila terdapat suatu masalah pada pembaruan sistem pendidikan harusnya dapat diselesaikan melakui upaya - upaya pemecahan masalah dari sistem pendidikan yang baru yang telah dipikirkan sebelumnya. Contoh : pembaruan sitem pendidikan dari CBSA mengarah pada berbasis kompetensi menimbulkan suatu permasalah baik itu dari pengajar maupun dari siswa itu sendiri. siswa masih banyak yang belum memahami sistem berbasi kompetensi dan terkadang para pengajar pun masih mengajar dengan sistem pendidikan CBSA namun, masalah tersebut dapat diselesaikan memlaui pemecahan masalah yang telah dipikirkan sebelum melakukan pembaruan pada suatu sistem pendidikan
SURI ICHWANI
081301103
Jumat, 26 Februari 2010
tugas2 kelompok V "Empat Tahap Ujian dalam Pembaharuan Pendidikan Menurut Nisbet"
contoh : Ada beberapa mata kuliah yang dulunya merupakan mata kuliah wajib sekarang menjadi mata kuliah pilihan dan sebaliknya. Mungkin dalam perubahan ini terdapat beberapa masalah yang mungkin timbul dan penyelesaiannya telah dipikirkan. Dalam hal ini pasti ada pertambahan beban kerja.
2. Lost of Confidence (kehilangan kepercayaan) : Di dalam memperbaiki suatu sistem pendidikan tentu diperlukan skill dan kemampuan dalam melakukannya. Jika hal tersebut tidak dimiliki oleh seorang pengajar tentu ia akan mengalami lost of confidence atau kehilangan kepercayaan diri karena tidak mampu menjalankan sistem.
contoh : ketika seorang dosen mengajar mahasiswa dengan persiapan minim dan kurang menguasai materi mahasiswa cenderung tidak memperhatikan, menganggap remeh dan cenderung menunjukkan kemampuan yang lebih daripada dosennya, sehingga membuat pengajar kehilangan kepercayaan diri, jadi seharusnya pengajar diberi pengembangan dalam mengembangkan kemampuannya.
3. The Period of Confusion (masa kacau) : kekacauan juga dapat terjadi dalam pembaharuan sistem pendidikan,ada saja kendala ataupun masalah yang dapat menghambat pembaharuan, namun masalah-masalah tersebut masih dapat dipertanggung jawabkan dan dapat diatasi.
contoh : Ketika terjadi pembaharuan metode pengumpulan tugas di kelas Paedagogi yang dulunya tugas dikumpulkan kedalam bentuk makalah (menggunakan kertas) sekarang bersifat paper-less dan menggunakan blog sebagai sarana pengumpulan tugas, dan blog juga menjadi sumber informasi mengenai mata kuliah yang ada. Pada awalnya ada beberapa masalah dan kebingungan-kebingungan yang timbul dari mahasiswa terutama bagi mahasiswa yang belum mengenal blog, sehingga beberapa pertemuan digunakan untuk membahas dan memecahkan permasalahan yang ada.
4. The Blacklash : Dalam mengevaluasi suatu sistem pendidikan terkadang timbul masalah-masalah yang dalam penyelasaiannya menggunakan upaya-upaya pembaharuan.
contoh : Masalah yang timbul dalam metode blogging yang diterapkan dalam kelas paedagogi contohnya, ketika ada beberapa mahasiswa yang belum konfirmasi blog kepada dosen pengampuh meskipun sudah melewati batas waktu yang ditentukan, dapat diatasi dengan cara dosen pengampuh tetap membuat tautan dengan catatan mahasiswa yang belum mengirimkan konfirmasi ke email tetap melakukannya
Kelompok V :
Denise Lazzroni 081301036
Husna A. Aritonang 081301046
Gracias Anastasia 081301082
Mayrinda Famella 081301102
Suri Ichwani 081301103
Dita Ardhina 081301110
Kamis, 18 Februari 2010
merakit bintang dan kaitannya dengan proses belajar dalam landasan filosofis,psikologi dan sosiobudaya dalam pendidikan
filsafat berasala dari kata - kata "philos" yang berarti cinta dan "sophia" yang berarti wisdom atau kebijaksanaan. jadi filsafat dapat diartikan secara mendalam terhadapa kebijaksanaan, cinta dan kearifan.berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia, dimana manusia akan berusaha mencapai kebijaksanaan dan kearifan> berfilsafat adalah berpikir, namun tidak semua berpikir itu berfilsafat . berfilsafat adalah berpikir yang memiliki 3 ciri yaitu :
- radikal
- sistematis
- universal
B. merakit bintang dengan landasan psikologis dalam pendidikan
keadaan seorang anak dari yang belum dewasa menjadi dewasa mengalami suatu perubahan karena adanya arahan dan bimbingan dari pendidik yang menjadi suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi.perubahan tersebut merupakan gejala yang timbul secara psikologis sehingga pendidik harus mampu memahami perubahan yang terjadi pada individu.hasil pendidikan yang berupa perubahan tingkah laku meliputi bentuk kemampuan yang menurut taksonomi Bloom diklasifikasikan dengan 3 kemampuan (domain) yaitu :
- kognitif (cognitive domain )
- afektif ( affective domain )
- psikomotor (psychomotor domain )
C.merakit bintang dengan landasan sosiobudaya dalam pendidikan
manusia sebagai makhluk sosiobudaya juga merupakan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain yang telah ada sejak lahir.dalam hal merakit bintang dengan 5 buah tusuk sate ini kita dalam kelompok saling membutuhkan dan memberi pendapat agar pembuatan tusuk sate tersebut dapat terselesaikan dan saling menghargai pendapat antar anggota dalam kelompok sehingga pembuatan tusuk sate dapat terselesaikan dengan adanya kerjasama antar kelompok walaupun ada banyak perbedaan pendapat dari masing - masing anggota kelompok.
suri ichwani 081301103
Rabu, 17 Februari 2010
tugas I kelompok V "BINTANG ALA “TUSUK SATE” DAN “TUSUK GIGI"
Pada hari Kamis, minggu lalu, tepatnya tgl 11 Februari, mahasiswa yang mengambil mata kuliah Paedagogi, yang diampu oleh Bu Dina, diberikan semacam proyek kelompok, yang pada awalnya cukup ambigu dan kurang jelas, karena kami tidak diberi petunjuk apa-apa. Bu Dina menyuruh kami duduk berdasarkan kelompok dan kemudian membagikan 5 tusuk gigi ke masing-masing kelompok. Satu-satunya instruksi yang diberikan Bu Dina adalah: “Coba kalian bentuk bintang menggunakan kelima tusuk gigi itu, dan harus bisa diangkat dengan tangan tanpa ada tusuk gigi yang jatuh”. Tentu saja pada awalnya kami bingung-bingung, dan saling bertatapan. Kami masih belum mengerti maksudnya. Pada percobaan pertama, kami membentuk bintang dengan menyatukan setiap ujung dari tusuk gigi pad satu titik, sehingga terbentuk bintang yang sederhana. Setelah kami tunjukkan pada Ibu Dina ternyata SALAH. Kami memutar otak dan muncul ide lain utuk membentuknya, yaitu dengan membuat lidinya saling menimpa, namun tidak saling mengait. Setelah terbentuk, kami panggil lagi Bu Dina. Bu Dina mengatakan, “mana bisa diangkat itu!”, dan kamipun berpikir, “jadi gimana bu? Mana bisaaaaa..”. Tapi kami tidak menyerah kami terus mengutak-atik tusuk-stusk gigi tersebut, sampai akhirnya “CRAAACKK…”, tusuk gigi kami ada yang patah!! Kami mencoba meminta tambahan tusuk gigi pada Bu Dina, namun tidak diizinkan. Kecewa sih, tapi kami terus berusaha. Tak lama setelah mencoba-coba, Bu Dina kembali mendatangi tiap kelompok dan membagikan 5 tusuk sate yang diatasnya ada semacam hiasan-hiasan terbuat dari kertas karton berbentuk ayam dan ikan, dan semacam kertas scrap berwarna merah (yang belakangan baru kami ketahui bahwa itu ternyata adalah hiasan lampion! Hehehehe) Selanjutnya dengan instruksi yang sama, kami disuruh kembali membuat bintang dengan tusuk sate tersebut. Entah mengapa kelompok kami sepertinya semangat sekali mengerjakannya. Yang tadinya cuma dua orang saja yang memegang tusuk gigi, sekarang kami empat-empatnya memegangi tusuk sate itu dan sama-sama membentuknya. Ukuran tusuk sate yang jauh lebih panjang membuat kami lebih mudah memegangnya dan memutar, membalik, atapun menahan tusuk satenya. Ternyata, hiasan-hiasan pada ujung tusuk sate itupun cukup membantu kami, karena dapat sedikit membantu untuk merekatkan ujung-ujungnya. Pada dasarnya, cara kami merangkai bintang tersebut, sama saja dengan cara kami pada tusuk gigi, hanya saja kami gagal melakukannya dengan tusuk gigi, karena ukurannya yang pendek, sehingga tusuk gignya tidak cukup kuat untuk menahan tekanan tusuk gigi yang lain, dan ada yang sampai patah. Berbeda halnya dengan tusuk sate. Ukurannya yang panjang dan mudah untuk dibengkokkan memudahkan kami untuk menyelip-nyelipkan tusuk sate, ada yang menimpa, dan ada yang ditimpa dan menahan, karena kalau tidak disusun dengan saling menimpa dan menahan, bintangnya akan tidak bisa diangkat. Beberapa kali kami mencoba dan masih gagal, tapi pada akhirnya bintang ala tusuk sate kami terbentuk, dan yang paling penting, bisa diangkat dan tidak jatuh!! Dengan semangat kami memanggil Bu Dina, dan kami ditantang untuk mengangkatnya. Alhasil kami berhasil melakukannya, dan kami cukup bangga karena kami kelompok pertama yang berhasil. Kami merasa sangat senang sekali. Kelompok lain belum ada yang siap menyelesaikan, namun punya kami sudah terbentuk. Mungkin jika dinilai berdasarkan kerapian kerja, ada kelompok lain yang lebih bagus hasil akhirnya, namun kami bangga dengan punya kami, karena kami yang lebih duluan menemukan cara menyatukan tusuk-tusuk sate itu dan membentuknya menjadi bintang. Kami bersinergy dengan cukup baik, dan kami semuanya terlibat dalam mengerjakannya. Ada yang memegang dasarnya, ada yang mengaitkan, pokoknya semuanya bekerja sama. Pada akhirnya entah bagaimana, bintang kami rusak, dan kembali menjadi tusuk sate. Kami mencoba kembali merangkainya, namun ternyata kami kalah oleh waktu. Kelas Paedagogi sudah berakhir, namun Bu Dina memperbolehkan kami membawa tusuk sate itu sebagai kenang-kenangan
kelompok V: